Kenyataan bahwa cabang-cabang ilmu yang dijadikan asupan bagi peserta didik adalah hampir sepenuhnya barang import - ini nampak dari nama-nama ilmunya yang aslinya menggunakan kata bahasa Indo-Eropa - menjadikan para peserta didik yang mahasiswa itu sebagian terbesar kesulitan mencernanya. Kesulitan itu terkait baik dengan media penyampaian buku ilmiahnya (yang tidak menggunakan bahasa Indonesia) maupun dengan materi dan contoh-contoh penjelasnya (yang berada jauh dari lingkungan yang diakrabi peserta didik itu). Kesulitan itu terbawa sampai mereka lulus; sehingga ketika dalam pertemuan ilmiah, nampak betapa tidak menjanjikannya sebagian besar isi makalah-makalah itu untuk kemajuan ilmu yang ditekuninya. Bukan hanya itu; bila pun ada buku yang ditulisnya, dampak bagi peningkatan mutu akademis dan ilmiah pun sangat kurang terasa; tidak inspiratif. Dari tulisan-tulisan yang ada itu, kesulitan-kesulitan yang diidap itu justru menjadi terabadikan.