Sejarah keberadaan Sang Naga dari Timur (masyarakat Tionghoa) di kepulauan rempah-rempah (Nusantara) memang sangat panjang. Dari awal permulaan kedatangan mereka sebagai pedagang, hingga proses amalgamasi yang kemudian menghasilkan keturunan Tionghoa babah. Pada saat periode pelayaran niaga terjadi gelombang migrasi besar orang-orang Tionghoa ke Nusantara khususnya diwilayah Sumatera dan Jawa. Mereka tidak lagi kembali ke Tiongkok namun menetap di pulau yang mereka singgahi dan kemudian menikahi penduduk setempat sehingga pada periode berikutnya melahirkan keturunan yang berkembang dengan pesat dan menjadi bagian dan kesukuan yang ada di Indonesia yakni orang Tionghoa Indonesia. Keberhasilan mereka dalam bidang perdagangan dirasa bukanlah dibangun dalam waktu singkat dan asal-asalan, namun membutuhkan suatu kedisiplinan tertentu yakni suatu etos kerja yang sangat ketat. Etos kerja tersebut ternyata dipengaruhi oleh ajaran-ajaran leluhur mereka khususnya ajaran Khonghucu. Ajaran-ajaran Khonghucu menjadi faktor penting bagi keberhasilan bisnis orang-orang Tionghoa. Khususnya Tionghoa di Yogyakarta yang memiliki etos kerja sesuai dengan nilai-nilai dalam ajaran-ajaran Khonghucu. Diakui maupun tidak diakui, secara realitas Khonghucu justru membawa dampak positif bagi etos kerja yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa di Yogyakarta baik itu orang Tionghoa Totok maupun Tionghoa babah. Kesamaan dialek sub suku yang ada di kalangan masyarakat Tionghoa Yogyakarta seperti sub Hokkian, Hakka, Kanton, Henghua, dan lainnya, serta nilai-nilai dalam Khonghucuisme berperan penting mendongkrak keberhasilan orang-orang Tionghoa di Yogyakarta baik itu yang beragama Khonghucu maupun agama lainnya. Buku yang berjudul Dinamika Etos Kerja Masyarakat Tionghoa Yogyakarta mengulas semua cerita diatas.